Oleh: Cornelis Wowor, M.A.
Makalah ini disampaikan pada seminar
sehari dengan topik yang sama di Wisma Narada tanggal 13 Juni 1993.
Judul di atas dimasukkan sebagai topik
yang diarahkan pada hubungan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dengan agama
Buddha.
Pada masa sekarang kita sekalian menyadari bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi[1] merupakan
faktor yang sangat penting dalam peradaban kita di abad modern ini. Karena pada
sekarang ini kita dapat melihat lompatan jauh dalam peradaban di mana kita yang
dulunya hidup sebagai manusia agraris berubah ke kehidupan agro-industri yang
akan menanjak maju ke kehidupan industrialisasi dengan berbagai macam kemudahan
yang kita nikmati.
[1] Ilmu
Pengetahuan adalah ilmu yang teratur (sistematik) yang dapat diuji atau
dibuktikan kebenarannya; atau ilmu yang berdasarkan kebenaran atau kenyataan semata.
Teknologi adalah kemampuan teknik yang berdasarkan pengetahuan ilmu eksakta
yang bersandarkan proses teknis. Kamus Besar Bahasa Indonesia (1988), lihat
kata-kata ybs... Selanjutnya dalam paper ini Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
akan disebut sebagai Sains.
Pada masa Sang Buddha, yaitu 2500 tahun lebih yang lalu, hingga pada permulaan
abad XX ini, di banyak tempat di dunia ini untuk menempuh jarak tertentu masih
menggunakan transportasi yang lamban atau berjalan, sehingga untuk menempuh
jarak tertentu masih membutuhkan waktu beberapa hari. Namun, dengan adanya
kemajuan sains, jarak-jarak tersebut umumnya telah dapat dijangkau dengan
cepat. Begitu pula dalam hal hitung menghitung yang pada masa yang lalu sulit
dan rumit, namun dengan adanya kalkulator banyak masalah menghitung dapat
segera diatasi dengan mudah dan cepat.
Demikianlah kemajuan sains telah memberikan fasilitas kemudahan yang
menguntungkan dan menyenangkan bagi manusia.
Namun, di balik kemajuan sains, ada sisi lain yang gelap, karena ternyata hasil
sains dapat digunakan untuk merugikan manusia pula, contohnya yaitu meledaknya
bom atom di Hirosima dan Nagasaki, juga rusaknya reaktor nuklir di Chernobil,
yang mengakibatkan banyak orang mati dan menderita. Hal ini membuat manusia
menjadi kuatir tentang masa depan. Tetapi apakah sains akan berhenti karena
kekuatiran ini?
Tidak! Sains tetap maju terus karena sains merupakan suatu proses yang tujuan
akhirnya belum diketahui.
Mengapa sains dapat berbahaya? Sebab sains adalah satu sistem yang tidak
terikat pada moral keagamaan. Dari experimen, walaupun itu berguna untuk
manusia nanti, banyak binatang atau manusia dikorbankan. Sains umumnya hanya
membicarakan masalah material, bukan spritual religius.
Hal-hal ini,
antara lain, yang membedakan agama Buddha dengan sains. Juga, tujuan akhir
Buddha Dhamma telah jelas - Nibbana. Buddha Dhamma, dalam hal ini, kitab suci
Tipitaka, sudah final, tidak dapat ditambah maupun dikurangi; namun sains
adalah suatu sistem yang belum selesai, yang masih maju terus, yang sekarang
benar mungkin esok tidak benar lagi, sehingga penyelidikan dipacu terus.
Tetapi ada sisi lain yang cukup menarik untuk diperhatikan adalah sains
membicarakan sesuatu yang kebenarannya harus dibuktikan pada sekarang ini, juga
Buddha Dhamma merupakan suatu ajaran yang mengajak kita untuk membuktikan
kebenaran Dhamma pada kehidupan ini pula. Sains hanya membicarakan fakta, maka
Buddha Dhamma pun merupakan realita pula.
Tetapi Buddha Dhamma sebagai realita adalah dalam arti bahwa Dhamma itu
merupakan pengalaman Sang Buddha atau para siswanya yang disampaikan kepada
kita. Pengalaman itu sendiri adalah realita.
Pada sekarang ini maupun pada masa yang akan datang, Buddha Dhamma tidak perlu
diubah untuk mempertahankan kebenarannya, walaupun sains telah maju sekali.
Malahan, kita perlu menggunakan sains itu sebagai alat bantu untuk membuktikan
kebenaran Buddha Dhamma. Misalnya, dalam Anguttara Nikaya[2], Sang
Buddha berkata bahwa di alam semesta ini terdapat milyaran tata surya, di
setiap tata surya ada matahari dan bumi, di bumi ada manusia dan seterusnya. Dalam hal ini sains dapat membantu membuktikan pernyataan
Sang Buddha itu.
[2] Woodward,
F.L., M.A. (transl.), The Book of the Gradual Sayings (Anguttara Nikaya),
London: Pali Text Society, 1979, p.206-208.
Hingga sekarang para sarjana astronomi menyatakan bahwa di alam semesta ini
terdapat banyak matahari sebagai berikut:
Matahari adalah
salah satu anggota dari sebuah bintang, gas dan debu yang disebut sebagai
galaksi, atau seperti galaksi "Bima Sakti" ...dan terdiri dari 100
milyar bintang. Di seberang tepi-tepi tata bintang kita
sendiri, para astronom dapat melihat milyaran galaksi lain[3].
[3] Nicolson,
Ian and Moore, Patrick, The Universe, New York: Macmillan Publishing Company,
1985, p.132.
Namun dalam kutipan di atas tidak
disebutkan bahwa di tata bintang (matahari) lain ada bumi atau manusia. Hal ini
tentu saja kita menanti bantuan sains untuk membuktikannya.
Begitu pula kita secara tidak jelas (masih kabur) mendapat banyak berita
tentang UFO (benda angkasa yang tidak dikenal) atau piring terbang yang
mengunjungi bumi kita ini. Apakah UFO itu dikendalikan manusia? Kita mengunggu
jawabannya.
Setelah kita mengunjungi bintang yang jauh, pada bagian ini kita melihat diri
kita sendiri. Secara jasmaniah diri kita terdiri dari tulang, daging, otot,
darah, dan sebagainya yang bila diuraikan lebih rinci, maka tubuh kita hanya terdiri
dari atom-atom saja. Atom-atom inipun hanya terdiri dari inti atom, yaitu:
proton, neutron dan elektron. Inti-inti atom ini tidak pernah diam namun selalu
bergerak; apabila inti-inti atom ini diuraikan lagi maka inti-inti atom itu
menjadi energi, sesuatu yang tidak kelihatan namun ada dalam proses itu
sendiri.
Demikian pula dengan manusia menurut pandangan Buddhis adalah tanpa memiliki
aku yang kekal, tetap. Karena sesungguhnya manusia itu adalah sebuah proses
yang berlangsung terus tanpa henti. Batin yang terdiri dari perasaan,
pencerapan, bentuk-bentuk pikiran, dan kesadaran tidak pernah diam, tetapi
berproses terus menerus.
Proses kehidupan yang terus menerus pada manusia disebabkan karena adanya
keinginan (tanha) yang terdiri dari kamatanha (keinginan
nafsu indera), bhavatanha (keinginan untuk menjadi atau
mempertahankan hidup), dan vibhavatanha (keinginan untuk
menjadi mati). Hal ini sejalan dengan pandangan Freud[4] tentang eros —nafsu seksual,
libido —impuls vital atau energi, dan thanatos —ingin mati.
[4] Jayatileka,
K.N., M.A. (Cantab), Buddhism and Scientific Revolution, dalam "Buddhism
and Science" Collected Essays, Kandy, Buddhist Publication Society, 1980,
p.4.
Dalam kaitan ini karena kita berbicara tentang keinginan, kita menyadari bahwa
keinginan tersebut adanya dalam pikiran kita. Ternyata pikiran merupakan faktor
istimewa yang membantu kita untuk mengetahui segala sesuatu, seperti yang
dinyatakan oleh Sang Buddha,
"Pikiran adalah pelopor dari segala
sesuatu, pikiran adalah pemimpin, pikiran adalah pembentuk..." (Dhammapada
1-2).
Berdasarkan pernyataan di atas, dengan adanya pikiran maka kita sebagai manusia
dapat mengetahui segala sesuatu di alam semesta ini. Sehingga dengan demikian
bagi manusia tidak ada sesuatu yang tertutup, dirahasiakan atau misteri. Namun
perlu diperhatikan bahwa kemampuan pikiran yang dahsyat ini bukan berarti kita
semua sama-sama telah memiliki kesanggupan itu, melainkan kemampuan itu hanya
dimiliki oleh mereka yang telah meningkatkan pikirannya (batinnya) hingga pada
taraf atau tingkat tertentu. Dengan kata lain, kemampuan ini didasarkan pada
tingkat kemampuan masing-masing individu.
Sehubungan dengan hal ini, sains pun merupakan sistem yang sedang berproses
terus dengan penemuan-penemuan yang sangat menarik, karena banyak hal yang pada
waktu lampau dipandang tidak masuk, maka sekarang telah menjadi kenyataan,
misalnya telekomunikasi yang canggih ke berbagai kota di dunia ini telah dapat
kita hubungi di mana saja kita berada.
Kemajuan sains telah membantu manusia untuk menjelajah angkasa luar, untuk
melihat planet-planet dalam tata surya kita. Dalam transportasi massal, pada
permulaan abad XXI kita akan memiliki pesawat yang berkecepatan 5 sampai 25
kali kecepatan suara, yang dengan kata lain Jakarta-Tokyo dapat dicapai dalam
beberapa menit saja.
Masih banyak hal-hal yang sejalan antara agama Buddha dengan sains, tetapi pada
kesempatan ini saya batasi dengan tambahan satu contoh yang terdapat dalam
Vinaya Pitaka[5] di mana diterangkan bahwa Jivika Komarabhacca sebagai
seorang dokter yang telah mengadakan operasi otak, sebagai berikut:
Kemudian Jivika Komarabhacca membaringkan
gahapati itu di atas dipan, mengikatnya, memotong untuk membuka kulit kepala,
membuka tulang tengkorak dan mengeluarkan dua panaka, memperlihatkannya kepada
orang-orang... Setelah tulang
kepala ditutup, ia mengoleskan obat.
[5] Dhammananda,
Sri K,. Buddhism in Eyes of Intelectuals, Kuala Lumpur, Buddhist Missionary
Society, p.21 and p.46.
Dengan demikian 2500 tahun yang lalu bidang kedokteran sudah cukup maju, sedang
di Indonesia pada masa itu masih diklasifikasikan sebagai zaman batu atau zaman
pra sejarah.
Selanjutnya, walaupun kita telah berbicara tentang beberapa hal yang sejalan
dengan agama Buddha, ada pula hal yang sulit sekali (pada sekarang ini) untuk
diterima oleh sains yaitu tentang adanya kehidupan-kehidupan yang lampau,
maupun kelahiran-kelahiran yang akan datang sebagai sebuah proses kehidupan
seseorang.
Karena sains berdasarkan pada pemikiran tentang apa adanya, material, maka konsep
kelahiran kembali sulit bagi sains untuk membuktikannya, walaupun banyak data
yang menunjukkan kemampuan orang untuk mengingat kehidupan yang lampau, tetapi
proses kelahiran itu tidak terjangkau oleh sains.
Dalam hal ini kita harus menyadari bahwa memang sains itu belum mencapai
tingkat akhirnya, juga memang banyak fakta yang sulit diterangkan oleh sains. Jadi fakta
bukan berarti selalu benar dalam kaca mata sains.
Setelah kita membicarakan sejenak tentang hubungan antara sains dan agama
Buddha, perlu juga diperhatikan bahwa walaupun sains telah maju sekali namun
ternyata sains bila tidak diaplikasikan dengan tepat, itu akan membahayakan
manusia sendiri.
Karena dampak sains cukup fatal bagi manusia, terutama mengenai limbah yang
dihasilkan dan kejahatan yang menggunakan sains semakin banyak dan sulit
dipecahkan. Sesungguhnya sains adalah netral, namun manusia yang menggunakan
sains yang salah mengaplikasikannya. Maka agar sains tidak salah digunakan, maka manusia harus memiliki
moral spritual yang tinggi. Apalagi bila kita berkemauan untuk menghasilkan dan
meningkatkan kualitas dan kuantitas sumber daya manusia yang kita butuhkan
sekarang.
Akhirnya sebagai salah satu tujuan pada pembicaraan ini adalah bagaimana sikap
umat Buddha, khususnya bagi para Dhammaduta, termasuk para anggota Sangha,
tentang kemajuan sains dibandingkan dengan kemampuan mereka. Hal ini perlu
diungkapkan, karena dalam tugas pembinaan umat Buddha, tanggung jawab para
Dharmaduta itu besar sekali. Apalagi sementara ini banyak umat Buddha yang
berpandangan bahwa para Dharmaduta, khususnya para bhikkhu, adalah
"mahatahu-mahatahu" kecil, yang merupakan pembimbing umat dalam
berbagai macam persoalan.
Sehingga dengan demikian bagi para Dharmaduta, pada masa sekarang ini mereka
harus mengembangkan diri agar mereka dapat membantu mengatasi meghadapi masalah
sosial yang semakin kompleks yang dihadapi umat Buddha di era globalisasi ini.
Karena, bilamana para Dharmaduta kurang mengembangkan kemampuan di bidang ini,
maka akibatnya umat akan kecewa, memandang rendah pada mereka dan akan mencari
pertolongan pada orang lain.
Demikianlah uraian singkat ini, yang masih sangat singkat pembahasannya, karena
penulis menyadari masih banyak hal yang perlu diangkat, namun hal tersebut
dapat kita bahas dalam diskusi yang akan kita lakukan setelah uraian ini
dibicarakan.
Sebagai renungan dalam pembicaraan ini adalah pernyataan Albert Einstein
sebagai berikut,
Agama pada masa yang akan datang adalah
agama universal. ...Agama itu meliputi nature dan spritual,
didasarkan pada pengertian keagamaan yang muncul dari pengalaman pada segala
sesuatu, nature maupun spritual, sebagai suatu
yang bersatu dan berarti. Agama Buddha menjawab persyaratan ini.
Bilamana ada agama modern yang dapat
memenuhi kebutuhan ilmu pengetahuan modern, itu adalah agama Buddha.
Sumber: Jalan Tengah edisi No. 58 Tahun
ke-5, 9 Juli 1993, Yayasan Dhammadipa Arama